Sudah
menjadi kebiasaan yang lazim di negara ini bahwa setiap pergantian
tahun merupakan momen yang selalu dinanti. Begadang hingga tengah malam
menjadi saksi bergantinnya tahun. Beragam bentuk atau ritual yang
dilakukan dalam rangka menyambut tahun baru. Mulai dari pesta, apakah
itu pesta kecil yang dihadiri keluarga, kenalan, serta handai-taulan.
Sampai ke pesta-pesta besar di pub, diskotek, klub malam, kafe, hotel,
gedung pertemuan, pusat perbelanjaan, ataupun di stasiun-stasiun TV yang
menayangkan secara langsung momen pergantian tahun. Adapula yang
memilih untuk pergi mendaki ke puncak gunung. Ritual yang satu ini boleh
dikatakan hampir merata di seluruh pelosok Indonesia. Di setiap
puncak-puncak gunung yang ada di Indonesia dikibarkan bendera merah
putih. Inilah wujud dari rasa nasionalis yang ditunjukkan oleh beberapa
orang generasi muda Indonesia.
Namun ada juga
yang melakukan hal lain, seperti selain mengadakan atau mengikuti pesta
mereka akan menghabiskan malam dengan kekasih mereka. Tak jarang
hubungan semacam ini akan berakhir dengan kelakuan terlarang (yang
merupakan bentuk lain dari hubungan di atas ranjang, dapat juga beralas
koran, atau tanah di lapangan terbuka. Dapat bermacam-macam alas yang
dipakai, atau bahkan tidak beralas). Tentunya minuman alkohol sudah
menjadi kebutuhan primer di moment penting semacam ini. Bahkan ada yang
ditemani dengan obat-obatan terlarang. Ada pula yang mengunjungi
tempat-tempat wisata semacam tepi pantai yang merupakan salah satu
lokasi favorit untuk menghabiskan malam tahun baru. Apalagi jika
didampingi oleh sang kekasih.
Hampir
setiap tahun orang-orang saling bertanya “Kemana tahun baru kemarin?”
atau “Menghabiskan malam tahun baru dimana?”. Suatu pertanyaan yang
menunjukkan perhatian dan kepedulian. Namun sesungguhnya merupakan wujud
dari ketidak-tahuan dari hakekat tahun baru itu sendiri.
Pernahkah
kita bertanya kenapa tahun baru dirayakan? Kenapa satu Januari yang
dijadikan awal mula tahun? Kenapa begini dan kenapa begitu?
Tidak..!
Sebagian besar dari kita menerima begitu saja. Menerima tanpa
mempertanyakan, begitulah generasi sekarang. Bukan..bukan menerima,
melainkan meniru, mencontoh, atau latah kata orang Jakarta. Tidak ada proses berfikir dalam hal ini, yang ada ialah perasaan keren dan up to date
jika kita ikut merayakan, merayakan perayaan yang dirayakan oleh
kelompok sosial tertentu, komunitas tertentu, atau penganutkeyakinan dan kebudayaan
tertentu. Hal ini terjadi karena kita kehilangan kepercayaan diri,
merasa rendah diri, atau minder kata anak-anak gaul Jakarta. Kita
selalu menganggap kecil diri sendiri, sehingga sering merasa malu
dengan kebudayaan kita, yang merupakan identitas kita sebagai sebuah
bangsa.
Sekarang,
marilah kita menengok kembali sejarah penetapan tahun baru masehi.
Sebenarnya tidak tepat juga jika kita sebut sebagai tahun Masehi. Karena
tahun Masehi merujuk kepada kelahiran Yesus. Sedangkan dikalangan
sejarawan masih muncul keraguan apakah benar Yesus lahir pada bulan dan
tahun yang diyakini tersebut.
Lagipula umat Nasrani meyakini tanggal 25 Desember yang diperingati sebagai Hari Raya Natallah tanggal kelahiran Yesus. Lalu tanggal 1 Januari dalam keyakinan agama Nasrani diperingati sebagai apa? Kenapa tanggal 1 Januari yang dijadikan patokan bermulanya tahun baru?