Salah seorang kawan kami mengirimkan sebuah email. Dia
mengisahkan perihal Khutbah Jum'at yang disimaknya. Sungguh bingik (iri)
kami membacanya. Alangkah beruntungnya ia, sebab kami sudah lama pula
menanti-nanti hal yang serupa. Silahkan engku dan encik sekalian simak.
Sangat
jarang sekali kami menemukan seorang ustadz yang memberikan Khutbah
Jum’at yang berisi. Sebab yang biasa berlaku tatkala Khutbah Jum’at
berlangsung ialah para jama’ah tertidur ataupun termenung. Jum’at
beberapa hari yang lalu ialah salah satu dari beberapa Jum’at berarti
yang kami lalui. Beruntung sekali kami mendapat seorang pengkhutbah yang
benar-benar memberikan tambahan ilmu bagi kami dan para jama’ah
lainnya. Tidak hanya kami yang berpendapat demikian, akan tetapi
beberapa orang kawan juga berpendapat demikian.
Isi khutbah ialah perihal yasinan, sebuah kebiasaan yang berlaku di kebanyakan negeri di republik ini. Kami sendiri merasa aneh dengan yasinan
ini karena apabila ada orang yang meninggal di kampung maka pada
malamnya para jama’ah di surau akan beramai-ramai datang menjenguk untuk
membaca Surah Yasin. Kami merasa ada yang aneh, ada yang salah dengan
hal ini.
Maka ustadz yang berkhotbah pada Jum’at inipun memberikan
penjelasan mengenai keadaan yang berlaku dalam masyarakat kita. Dimana yasinan
seperti yang selama ini difahami oleh orang-orang ialah keliru, telah
khilaf mereka. Hanya dengan membaca Surah Yasin secara bersama-sama
dengan tanpa memperhatikan makhraj hurufnya serta tidak memahami
arti dan maknya ialah sia-sia belaka. Telah banyak cemoohan yang kami
dengar dari orang-orang munafik dan fasik “Untuk apa dibaca Al Qur’an
itu?! Dibaca pula dengan berirama?! Padahal kita sendiri tidak memahami
arti dan mendalami maknanya. Dan perilaku pembacanyapun tidak sesuai
dengan ajaran Al Qur’an yang dibacanya..!”
Begitulah kira-kira,
memang benar pendapat demikian, terlepas dari mulut siapa pernyataan
tersebut keluar. Bukankah Saydina Ali pernah berpendapat “Jangan lihat
siapa yang memberikan pendapat, tapi lihatlah pendapat tersebut. Apabila
ada kebenaran di dalamnya, maka ikutilah..”
Ustadz ini membagikan
kepada kami sebuah kisah perihal seorang ulama yang berdakwah sambil
menjadi guru pada salah satu sekolah Muhammadiyah di Palembang. Saat itu
banyak sekali kabar-kabar dusta yang beredar perihal Muhammadiyah di
masyarakat. Sehingga banyak yang benci dan menjauhi orang-orang
Muhammadiyah.
Nama ustadz tersebut ialah AR.Fachruddin, mengajar di sebuah daerah yang bernama Ulak Paceh.[1]
Jarak antara rumah dan sekolah tempat dia mengajar ialah tidak
berdekatan. Apabila hendak pergi mengajar maka beliau lebih memilih
untuk berjalan kaki. Dalam setiap perjalanan menuju sekolah, beliau
selalu lalu di hadapan sebuah rumah kepunyaan seorang ulama besar di
kampung tersebut, beliau biasa disebut dengan panggilan “Engku Guru”.
Setiap
kali lalu di hadapan rumah Engku Guru dan apabila bersua dengan Engku
Guru tersebut, AR Fachruddin selalu menyapa beliau dengan salam. Namun
anehnya, salam beliau terkadang tak dijawab, kalaupun dijawab yang
terdengar hanyalah sepata-sepatah, seperti “Kum..” atau “Lam..”. Namun
ustadz mudah ini rupanya sangat lapang hatinya, berlainan dengan kami.
Walau tak diacuhkan, beliau selalu menyapa sang Engku Guru.
Lama-lama
akhirnya hati Engku Gurupun luluh jua, pada suatu ketika salam dari
ustadz muda ini dijawab dengan sempurna. Alangkah girangnya hati si
ustadz muda, karena kesenangan hati maka didatanginyah Engku Guru ini
sambil menjabat tangan beliau. Merekapun akhirnya bercakap-cakap panjang
lebar dan akhirnya pertanyaan Engku Guru yang selama ini telah
ditahannya akhirnya keluar juga “Apa Guru Muda ini orang
Muhammadiyah..?”
“Benar engku, saya ini orang Muhammadiyah, dahulu saya ini belajar di Darul Ulum Muhammadiyah Jogja” jawab AR Fachruddin.
Engku
Guru inipun terpana, tak menyangka dia kalau pertanyaannya akan dijawab
dengan jujur dan ringan oleh si ustadz muda. Maka karena masih belum
percaya ditanyalah kembali dengan lebih tegas “Jadi guru muda ini
benar-benar orang Muhammadiyah..?”