Friday, July 19, 2013

Pakaian Perempuan Minangkabau

Perempuan Koto Gadang
Gambar: Internet
Perempuan ialah lambang kehormatan bagi orang Minangkabau, mereka dimuliakan dan dituahkan dengan Rumah Gadang dan harta pusaka. Sedangkan lelaki hanya dituahkan dengan Gelar Pusaka. Namun banyak jua orang Minang yang tak begitu faham dengan adat serta orang luar yang memandang adat Minang ini dengan penuh prasangka dan cemburu. Mereka semua berpendapat berlainan..

Pakaian kemualiaan seorang perempuan Minangkabau ialah Baju Kurung. Pakaian ini sebenarnya tidak hanya dipakai oleh perempuan Minangkabau saja, akan tetapi seluruh perempuan di Alam Melayu menggunakannya. Saat ini, hanya orang-orang Melayu di Malaysia yang masih mempertahankan pakaian ini. Sehingga banyak orang Minangkabau yang tak faham apabila disebut perihal baju kurung maka mereka akan berseru “O baju yang serupa dipakaia oleh orang Malaysia itu..?”

Sungguh sangat kasihan sekali orang Minangkabau, telah lupa dengan jati diri, telah lupa dengan diri sendiri.

Wednesday, July 17, 2013

Pakaian Lelaki Minangkabau

Suasana di Lapau Nasi di Payokumbuah
Gambar: Internet
 Berbagai perubahan yang terjadi di negeri kita semenjak zaman dahulu telah menghilangkan beberapa ciri kedaerahan yang dahulukan menjadi ciri kepribadian kita. Budaya masing-masing daerah ialah berbeda-beda kekhasannya, mencakupi segala aspek dari bahasa, adat isitiadat, matapencaharian, cara berpakaian, pandangan hidup, dan lain sebagainya.

Beberapa saat yang lalu tatkala kami pulang kampung, kamipun bertanya ke pada datuk[1] kami perihal beberapa hal. Salah satunya ialah perihal pakaian sehari-hari orang dahulu. Hal ini karena kami sudah lama menyimpan pertanyaan perihal jenis pakaian yang dipakai oleh orang zaman dahulu. Ini semua karena melihat filem bisu yang berasal dari zaman Belanda. Dimana pakaian yang digunakan oleh orang-orang pada masa dahulu sangat lain sekali rasanya dengan pakaian orang sekarang.

Pakaian orang dahulu ialah baju Gunting Cina, kurang lebih potongannya serupa dengan Baju Koko sekarang. Namun bedanya ialah baju Guntiang Cina yang dipakai oleh orang dahulu tidak memiliki kerah dan tidak pula memiliki saku. Berlengankan panjang dan terbuat dari kain ganiah, kain ini memiliki warna putih dengan bahan dasar benang (kapas). Kain ini asli buatan orang Minangkabau. Baju ini tidak panjang dan tidak pula singkat (pendek). Melainkan hanya sampai pertengahan tangan saja.

Sedangkan celananya dinamai dengan nama Sarawa[2] Bapiliruk (bapiluruik). Terbuat dari bahan yang sama yakni kain ganiah dan juga tidak memiliki kantong. Celana ini memiliki semacam tali pada pinggangnya yang terbuat dari kain. Digunakan sebagai paarek,[3] sebab pada masa dahulu belum ada karet untuk mengencangkan celana yang lapang. Paarek atau pengencang celana inilah yang dinamakan oleh orang Minangkabau dengan piluruik.

Tuesday, July 16, 2013

Tidur Selepas Subuh

Jannal (Window)
Ada sesuatu yang menganjal di hati ini semenjak beberapa Ramadhan yang lalu yakni perihal perubahan jam kerja bagi kantor-kantor, sekolah, dan beberapa lembaga lainnya. Pada bulan puasa ini, demi menghormati orang-orang yang berpuasa jam masuk diundur dan jam pulang dipercepat. Pada awalnya kami sangat senang dan berterimakasih atas kebijakan ini.

Namun setelah beberapa lama kami merasa ada yang berjalan tidak sebagaimana mestinya. Adalah sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang bahwa sangat berat sekali bangun pagi. Pada hari biasa, untuk bangun Shalat Subuh saja sudah terasa berat. Pada Bulan Ramadhan, mereka terpaksa bangun untuk sahur dan selepas subuh mereka kembali tidur.

Kami yakin bahwa sebagian besar dari kita sudah mengetahui bahwa tidur selepas subuh atau bangun kesiangan sama sekali tidak dianjurkan, walau tidak dilarang dalam Islam. Tidak perlu rasanya kami terangkan pula disini dalil, maksud, dan tujuannya.

Monday, July 15, 2013

Penjajahan Bahasa

Salah satu gedung perkuliahan di Unand.
Gambar: Internet
 Beberapa bulan yang lalu kami berkunjung ke bekas kampus kami di Kota Padang tepatnya di Kampus Unand Limau Manis. Karena lapar, maka kami makan di salah satu barak[1] di dekat salah satu gedung perkuliahan yang pernah menjadi tempat kami belajar dahulunya.
Keadaan barak tentunya telah agak sedikit berbeda, walau sudah bertahun-tahun lamanya namun tidak banyak yang berubah kecuali harga makanan yang semakin mahal. Katika itu sedang masa libur semester genap sehingga mahasiswa sedikit. Bahkan di barak ini tidak kami temui seorang mahasiswapun.
Selepas makan maka kamipun pergi ke meja kasir untuk membayar makanan kami. Ketika hendak membayar, salah seorang pelayan perempuan di sana bertanya basa-basi kepada kami “Hendak membayar ya mas..?
Kami terdiam mendengarnya, sudah banyak kiranya yang berubah di kampus ini. Kampus dari universitas kebanggaan kami orang Minangkabau, bagian dari jati diri (identitas) kami, perlambang bagi kecerdasan intelektual kami orang Minangkabau. Telah berubah rupanya..
Dahulu mereka memanggil kami para mahasiswa dengan panggilan uda atau abang yang merupakan panggilan lazim bagi lelaki Minangkabau. Sama agaknya dengan panggilan mas di Jawa (dan juga beberapa kota di Pulau Jawa). Kami terhenyuk, sedih, marah, kesal, dan lain-lain perasaan bercampur baur. Tapi apa hendak dikata, tak patut rasanya kalau kami marah ketika itu.
Kami kembali terkenang akan sebuah tulisan yang pernah dimuat pada salah satu blog yang pernah kami baca dahulunya. Sebuah tulisan yang diangkat dari pengalaman pribadi si penulis, tulisan yang mencemooh (mengkritisi) salah satu kejadian pada salah satu bank di salah satu kota di Sumatera Barat.

Friday, July 12, 2013

Masuk Islam

Sebuah vidio yang menayangkan seorang mubalig yang berdakwah kepada seorang kafir (non-muslim) hingga dia mau menerima ajaran Islam. Terjadi di Inggris, direkam dengan baik. Apakah ini merupakan bagian dari salah satu acara di salah satu stasiun televisi di Inggris? Kami tak pula faham.

Bagus memang, namun yang menjadi pertanyaan sekarang ialah akankah Si Mu'allaf tersebut benar-benar mendapat pengajaran yang baik mengenai Islam. Atau proses masuk Islamnya merupakan sesuatu yang bersifat emosional atau euforia saja?

Semoga yang terbaik jugalah hendaknya yang berlaku.


Thursday, July 11, 2013

Nyanyian dalam Islam



Para Pemain Musik di Masa Keemasan Peradaban Islam
Ilustrasi Gambar: Internet
Baru-baru ini salah seorang kawan bertanya, “bagaimana gerangan pandangan nyanyian terutama nyanyian Islami dalam agama kita. Bukankah hal tersebut sama namanya dengan menyerupai orang-orang kafir?”

 Lebih lanjut dia bercerita kalau semasa kuliah dulu pernah dia bertanya kepada salah seorang kawannya yang Kristiani, “apa gerangan isi nyanyian di gereja?” Si kawan menjelaskan “yang kami nyanyikan ialah puji-pujian kepada Tuhan”.

Beralaskan jawaban dari kawannya tersebut, maka kawan ku yang satu ini beranggapan nyanyian Islami dianggap menyerupai umat Kristiani dalam beribadah. Berdasarkan jawaban dari kawannya tersebut maka dia sendiri yakin nyanyian dalam Islam merusak akidah, dia sendiri lebih menyukai musik-musik non Islami semacam pop, jazz, ataupun musik klasik.

Mungkin banyak diantara kita yang berpandangan demikian, alangkah baiknya jika kita menengok sejenak Sejarah Perkembangan Peradaban Islam. Hampir setiap suku bangsa di dunia (termasuk kita di Ranah Melayu ini) memiliki tradisi sastra tertulis maupun lisan, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada masa dahulu untuk mengubah sebuah sya’ir sebagai bentuk penghargaan tertinggi apakah itu kepada Tuhan, manusia yang dikagumi (seperti penguasa atau tokoh masyarakat), kekasih ataupun orang-orang yang dicintai, alam dan lingkungan tempat tinggal. Terkadang pula di sebagian masyarakat, para ahli sastra terutama penyair menduduki posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.

Wednesday, July 10, 2013

Pandangan Masyarakat Awam


Ilustrasi Gambar: Internet
Beberapa masa yang lalu tatkala kami sedang memeriksa Dinding Fesbuk kami, maka tanpa sengaja terbaca oleh kami sebuah pernyataan (status) yang dibuat oleh seorang Dara nan Cantik Jelita. Begini kira-kira pernyataannya tersebut: dalam jilbab orang (perempuan) masa sekarang, tidak pula menjadi sebuah jaminan.

Maksud dari encik yang membuat pernyataan ialah bahwa Jilbab Dalam serupa yang dipakai oleh para akhwat tidak menjadi jaminan ketinggian akhlak pemakainya. Pernyataan yang demikian mendapat jawapan dari salah seorang engku, begini kira-kira jawapannya:

Jika encik berjilbab dan ada orang yang mempermasalahkan akhlak encik, maka encik katakanlah kepada mereka bahwa antara jilbab dan akhlak ialah dua perkara yang berbeda. Berjilbab ialah perintah dari Allah Ta’ala, wajib hukumnya bagi perempuan Islam yang telah baligh tanpa memandang akhlaknya seperti apa. Baikkah akhlaknya atau berakhlak burukkah ia.

Sedangkan akhlak, watak, tabi’at, dan tingkah-laku ialah bergantung kepada diri masing-masing. Sebab masing-masing manusia itu berbeda didikan dan kendali dalam dirinya. Apabila seorang perempuan berjilbab melakukan suatu perbuatan tercela atau bahkan sampai menjurus kepada perbuatan dosa. Maka itu bukanlah karena jilbabnya melainkan karena dirinya (pribadinya). Dirinya belum tahu yang halal dan haram, ataupun sudah tahu namun telah berbuat khilaf. 

Yang berjilbab belum tentu berakhlak mulia, namun yang berakhlak mulia sudah pastilah berjilab.

Tuesday, July 9, 2013

Nagari bagi Minangkabau

Ilustrasi Gambar: Internet
Ilustrasi Gambar: Internet
Minangkabau dikenal dikarenakan keunikan adat dan budayanya. Sistim matrilineal telah begitu melekat dan menjadi identitas yang menyatu bagi masyarakat Minangkabau. Minangkabau juga dikenal karena beberapa orang founding father[1] Negara Indonesia berasal dari daerah ini. Selain itu makanan khas rendang merupakan jenis masakan asli daerah Minangkabau. Masakan ini telah menjadi menu masakan nusantara, bahkan berdasarkan penelitian sebuah lembaga research kelas dunia, masakan rendang merupakan salah satu jenis masakan favorit di dunia.
Namaun apakah gerangan yang menjadi fondasi dasar bagi daerah ini untuk tetap berdiri, dalam menunjukkan kekhasan dirinya? Ditengah kencangnya arus modernitas, dan dibawah ideologi penyeragaman yang dilakukan oleh pusat terhadap daerah yang dipropagandakan secara halus melalui media massa. Akan sangat sulitlah bagi daerah-daerah untuk tetap berdiri sesuai dengan jati dirinya. ”Semuanya harus disesuaikan dengan kemajuan zaman, kita tidak boleh menolak perubahan karena perubahan merupakan sesuatu yang pasti. Belum ada yang berhasil menentang perubahan” begitulah kira-kira tanggapan dari sebagain Minangkabau saat ini.
Sesungguhnya yang menjadi landasan utama bagi Minangkabau untuk tetap berdiri ialah Agama (Islam) dan Adat. Kedua hal inilah yang menjadi pilar utama yang menopang kehidupan masyarakat Minangkabau. Tanpa keduanya, atau hanya salah satu saja maka Kebudayaan Minangkabau akan runtuh. Pada masa sekarang ini, kedua pilar penting inilah yang digugat, digugat oleh anak kandungnya sendiri. “Tidak sesuai dengan perkembangan zaman” Kata Tuan-tuan para intelektual.
Marilah kita perbincangkan disini perkara adat. Selain Adat Matrilineal yang menjadi fondasi utama dalam kelangsungan kehidupan masyarakat Minangkabau, terdapat satu institusi yang mewadahi kepentingan masyarakat Minangkabau. Namanya ialah “NAGARI”, maknanya ialah daerah, kawasan, ataupun negeri. Yang dimaksud dengan Nagari ialah suatu kawasan yang ditinggali oleh suatu masyarakat yang memiliki nenek moyang yang sama, sejarah kedatangan yang sama, dan ragam corak adat yang sama. Diperintahi oleh beberapa penghulu yang duduk di Balairung atau Balai Adat. Dalam menjalani pemerintahan di Nagari setiap penghulu melakukannya dengan cara musyawarah-mufakat.[2]
Ilustrasi Gambar: Internet
Ilustrasi Gambar: Internet
Nagari juga harus terdiri atas beberapa suku, paling sedikit ialah empat, kemudian harus memiliki masjid jamiak tempat menyelenggarakan shalat dan ibadah lainnya. Harus ada juga balai tempat para penghulu berunding dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada dalam nagari. Labuah atau jalanpun harus pula ada, karena ini merupakan sarana penghubung silaturahim antara anak nagari. Syarat terakhir ialah tapian, yang dimaksud dengan tapian ialah tempat mandi. Orang dahulu tidak memiliki kamar mandi di rumahnya, dan tidak pula semua rumah memiliki sumur. Maka bagi yang tidak cukup keadaan rumahnya serupa itu, maka mereka biasanya akan pergi ke batang aia (sungai) untuk mandi, mencuci, dan keperluan lainnya. Kalaupun sungai jauh, maka mereka akan mencari kolam atau tabek yang jernih serta bersih airnya, atau menumpang ke sumur-sumur milik orang kampung yang terkenal banyak airnya.
Wilayah yang mereka perintahi merupakan wilayah merdeka yang hanya mengakui kedaulatan Rajo Alam di Pagaruyuang.  Raja sendiri tidak memiliki hak untuk mencampuri kehidupan nagari, hanya saja dirinya akan turun tangan apabila terdapat perkara yang tidak didapat penyelesaiannya oleh para penghulu di nagari tersebut.