Pada tulisan kami yang telah lalu
kami bahas secara garis besar perihal pemurtadan (kristenisasi) yang
telah lama berlaku di Minangkabau. Sekarang, marilah kita beranjak
kepada pembahasan mengenai pemurtadan yang terjadi di Minangkabau ini.
berbagai kasus yang terjadi banyak mengemuka di Kota Padang, Pasaman,
Payakumbuh dan Lima Puluh Kota. Bagaimana dengan kawasan lainnya di
Minangkabau ini? adakah hal yang sama juga berlaku?
Mudah-mudahan
saja tidak, sebab cemas kami dikarenakan tidak terdengar kabar
menyebabkan kita menjadi lalai mengenai masalah ini. Sebab Si Penyampai
Kabar pada masa sekarang telah banyak dikuasai oleh orang-orang yang
mengaku menganut faham “Kebebasan”. Dimana orang bertukar agama bukanlah
masalah bagi mereka karena itu merupakan bagian dari HAM. Dan lagi pula
menurut pendapat mereka “Agama itu ialah Hak individu, tidak boleh
dicampur-baurkan dengan kehidupan bernegara, politik, ekonomi, budaya,
sosial, dan kehidupan umum lainnya..” Suatu pendapat yang didasarkan
atas Ideologi Liberalisme.
Patut menjadi renungan bagi kita ialah pada masa dahulu – yakni ketika Gerakan Kaum Muda VS Kaum Tua
sedang keras-kerasnya – sekitar tahun 1930-an isu Kristenisasi merebak
di Minangkabu. Hal ini rupanya mendatangkan berkah tersendiri dimana
kedua golongan yang bertentangan ini. Dimana akhirnya kedua golongan
yang semula bertentangan menjadi bersatu-padu dalam menentang usaha
pengkafiran ini. Sungguh sangat berlainan keadannya dengan masa sekarang
dimana banyak orang Minangakabau yang “mengaku” dan “merasa” terdidik
bersikap pongah, congkak, dan angkuh dengan sikap mereka yang
merendahkah saudara-saudara mereka yang menentang “Kristenisasi” ini.
Karena menganggap kabar tersebut merupakan kabar “dusta”.
Misi
Kristen pertama yang berlaku di Sumatera Barat pada masa Penjajahan
Belanda, hanya kepada sesama warga Eropa, Nias, Ambon, Batak, Menado,
dan Jawa. Ada juga yang mengincar orang-orang Minangkabau yakni orang
Minangkabau keturunan (genelogis) yakni beribu Minangkabau sedangkan
berayahkan Eropa atau Cina. Biasanya perempuan-perempuan ini merupakan gundik
bagi laki-laki kafir tersebut. Namun pada permulaan abad ke-20
misi-misi Kristen mulai dengan serius mengincar orang-orang Cina dan
Nias.
Muslihat (modus operandi) yang dijalankan ialah dengan
mendekati keluarga-keluarga mereka kemudian membujuk supaya anak-anak
mereka di sekolahkan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh misi.
Muslihat lainnya ialah dengan cara memberikan bantuan berupa pelayanan
sosial, perawatan anak-anak, dan orang tua terlantar.
Yang paling
mengejutkan ialah antara tahun 1937 hingga kekalahan Jepang, beberapa
orang Minangkabau telah berhasil di babtis dan aktif dalam beberapa
kegiatan gereja. Namun pada perang kemerdekaan, para murtadin ini
kembali menjadi muslim.
Titik paling mengejutkan terjadi semenjak
tahun 1950 dimana sekelompok pemuda Minangkabau yang telah murtad dan
menganut ajaran Kristen di Singapura mengunjungi Padang dan berhasil
menarik beberapa orang pemuda Minangkabau untuk ikut murtad mengikuti
jejak mereka. Kristenisasi pada sekitar tahun ini semakin gencar dengan
diadakannya program transmigrasi oleh Pemerintah Pusat.
Selain itu
kasus Kristenisasi yang berlangsung kebanyakan memiliki pola yang sama
yakni selain dari memberikan bantuan pendidikan, sosial, dan kesehatan
juga yang paling mengena ialah melalui lembaga perkawinan. Dengan
berpura-pura memeluk Islam, seorang Kristen kemudian mengkonvert
pasangannya untuk murtad. Kasus ini lebih banyak dialami oleh kaum
perempuan.[1]
Pada
tahun 1982 Minangkabau dihebohkan dengan organisasi yang menamakan
dirinya dengan “Persekuatuan Kristen Sumatera Barat” (PKSB) dan
“Persekutuan Kristen Minangkabau”. Organisasi ini menggunakan rumah
gadang sebagai lambangnya. Semenjak tahun 1980-an ini Misi Kristen
meraih banyak prestasi seperti berhasil mengkafirkan beberapa orang
penghulu di Minangkabau. Tidak hanya itu, INJIL Berbahasa Minangpun
mulai dirilis serta berbagai gereja dengan bentuk rumah biasa mulai
banyak didirikan di Sumatera Barat.
Kasus
yang paling menghebohkan dan menyakitkan ialah kasus yang menimpa
Khairiyah Anniswah (Wawah) pada tahun 1999 di Kota Padang. Namun hal ini
bukanlah akhir karena selanjutnya kasus kristenisasi memasuki babak
baru. Dengan memanfaatkan arus perubahan, goncangan ideologi, dan
kegamangan masyarakat Minangkabau. Perlahan-lahan mereka mulai semakin
mempertajam misi mereka. Target mereka masihlah kaum perempuan, apakah
ibu rumah tangga ataupun gadis belia.
Seperti pada tahun 2005 menurut data[2]
sekitar 500 orang Minangkabau di perantauan yakni yang berada di
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, & Bekasi) telah
murtad. Salah satunya ialah seorang gadis belia asal Batusangkar yang
menjadi mahasiswi di IPB Bogor. Gadis belia ini merupakan cucu dari
seorang Ulama Nasional dan Wakil Ketua PP Muhammadiyah tahun 1960-1985.
Bagaimana dengan yang berada di Ranah Minang sendiri?
Pada
masa tahun 2000-an sangat marak sekali kasus kesurupan Jin Kristen di
kalangan gadis-gadis muda Minangkabau. Suatu serangan yang sangat
mematikan karena Bangsa Minangkabau ialah bangsa yang menganut garis
keturunan ibu. Serangan ini banyak menimpa para mahasiswi di berbagai
perguruan tinggi di Sumatera Barat.
Ada pula muslihat memalsukan Al Qur’an[3]
hal ini memungkinkan bagi para Misionaris sebab sebagian besar orang
Minangkabau pada masa sekarang tidak pandai membaca tulisan Arab.
Kalaupun ada yang membaca maka hanya sekadar pandai membaca saja
sedangkan arti dan maknanya tidak faham.
Hal yang paling mematikan
justeru datang dari kalangan umat Islam itu sendiri. Yakni dari
orang-orang yang telah menyimpang akidahnya namun masih mengaku sebagai
muslim. Mereka itulah yang menamakan diri mereka dengan Islam Liberal.
Yang mengutamakan kebebasan dalam menentukan agama dan toleransi dengan
orang berbeda agama. Namun sayangnya dengan orang-orang yang seagama
mereka sama sekali tidak memiliki toleransi.
Referensi:
Gusti Asnan. Kamus Sejarah Minangkabau. PPIM. Padang, 2003
Situs:
No comments:
Post a Comment